Review Blade Runner 2049
Blade Runner merupakan film yang tidak asing bagi penikmat film karena pada 1982 muncul dengan tampilan yang futuristik menggambarkan sebuah masa depan dengan setting 2019. Blade Runner saat itu hadir sebagai film yang menarik banyak minat orang untuk merasakan kepuasan tersendiri dari visual dan audio effectnya. Tentu saja, kehadiran sequel dari Blade Runner 2049 ini sangat di tunggu-tunggu oleh penggemarnya.
Bila film Blade Runner pertama di sutradarai oleh Ridley Scott yang terkenal dengan Alien franchise-nya, maka di sequel yang berjudul Blade Runner 2049 ini (selanjutnya akan saya singkat menjadi 2049) Ridley Scott mengisi kursi produser dan sutradaranya adalah Denis Villeneuve yang mulai terkenal sejak film laga dan aksi Sicario hingga film bertema Science-Fiction berjudul Arrival.
Untuk menonton film Blade Runner 2049, sebenarnya tidak perlu untuk menonton film pertamanya. Mengapa? Karena film ini bersifat stand-alone. Yap, tanpa perlu menonton prequelnya pun kita dapat memahami cerita tersebut karena di jelaskan lewat scene-scene yang memanjakan mata. Namun, bila kekeuh ingin menonton Blade Runner yang pertama silakan saja.
Tetapi, Villeneuve selaku sutradara 2049 menghadirkan prolog dari sequel Blade Runner agar kita tetap paham tentang alur cerita yang di hadirkan pada 2049. Prolog tersebut dapat di nikmati melalui saluran YouTube milik Warner Bros. Pictures dengan judul yang telah di urutkan:
1. BLADE RUNNER 2049 — “Black Out 2022” Anime Short.
2. BLADE RUNNER 2049 — “2036: Nexus Dawn”
3. BLADE RUNNER 2049 — “2048: Nowhere to Run”
Tentu saja ketiga prolog itu membantu kita untuk memahami bagaimana awal permasalahan setelah Blade Runner pertama yang setting waktunya pada tahun 2019. Dan untuk mengenai durasi, saya rasa itu sepadan dengan audio visual yang ditampilkan oleh tim produksi 2049. Mengapa? Dengan durasi 2 jam 44 menit, kita di manjakan dengan permainan audio yang sangat mendominan dibanding dialog, kemudian visual effect mendukung film tersebut karena latarnya adalah 30 tahun setelah Blade Runner pertama. 2049 ditampilkan sangat futuristik bagaikan situasi dan kondisi yang demikian di masa depan nanti.
Meskipun visual dan audio effectnya sangat memanjakan, namun tentu saja yang di harapkan dari film ini adalah laganya. Laga dari film 2049 bisa dikatakan cukup tetapi terasa kurang. Fokus dari 2049 dalam durasi hampir 3 jam tersebut menurut saya adalah menampilkan visual dan audio effect serta dialog yang minim namun bermakna. Karakter-karakter yang dihadirkan pun terasa aura misteriusnya namun memiliki feeling yang kuat. Pendalaman karakter oleh masing-masing aktor maupun aktris sangat baik.
Bisa dilihat dari K yang menjadi pemeran utama dalam sequel ini, K digambarkan sebagai sosok yang datar. Namun, karakternya di satu scene ditampilkan penuh emosi, dan di scene lainnya ia menjadi karakter yang menyedihkan. Ryan Gosling yang berperan sebagai K patut diberi applause karena dapat memainkan mimik muka serta intonasi suaranya. Adegan laganya pun terasa ia seperti menempatkan dirinya pada karakter K. Tak banyak yang bisa saya jelaskan tentang karakter K ini karena akan berdampak spoiler kepada pembaca.
K didukung oleh karakter-karakter yang tak kalah menarik perhatian seperti Joi yang merupakan Artificial Intellegence, Niander Wallace tokoh antagonis dalam Blade Runner 2049 yang sangat terobsesi untuk membuat rancangan-rancangan baru. Dan Luv adalah hasil rancangan terbaiknya serta menjuluki Luv sebagai angel. Selain itu dengan hadirnya tokoh ikonik pada Blade Runner pertama yaitu Rick Deckard yang diperankan oleh Harrison Ford membuat penonton kembali merasakan nostalgia bersama Deckard.
Cerita yang ditawarkan sepanjang 160 menit ini membuat sebagian orang berpikir dua kali untuk membeli tiketnya. Memang, mulai dari trailer Blade Runner 2049 menghadirkan gambaran sebuah film dengan latar yang cukup gelap dengan waktu di masa depan. Mulai dari trailer saja kita sudah di manjakan dengan audio nya yang sangat (saya tidak tahu harus menulis apa). Hingga filmnya tiba, tepat pada hari pertama tayang saya langsung menonton filmnya. Di dukung dengan Dolby Atmos, sepanjang film memang saya merasa puas dengan dentuman suara-suara yang dihadirkan. Villeneuve memang selalu membuat orang takjub dengan permainan audio dan visualnya.
Namun yang menjadi kelemahan seorang Villeneuve adalah ia terlalu terpaku pada penampilan audio dan visualnya sehingga lupa pada cerita yang akan disampaikan kepada penonton. Memang benar, Villeneuve mengalami improvisasi yang sangat signifikan dibanding film nya sebelum Blade Runner 2049 seperti Arrival dan Sicario. Jika boleh memilih film mana yang lebih menarik secara keseluruhan maka saya akan memilih film Sicario. Di film Sicario saya merasa Villeneuve mampu menyeimbangkan mulai dari visual dan audio hingga cerita dari masing-masing karakter terasa kuat dan membekas di ingatan para penonton.
Bukan berarti film Blade Runner 2049 adalah karya terburuk Villeneuve, saya hanya menekankan pada cerita yang hendak disampaikan terasa lemah. Tidak sekuat sebelumnya saja. Mulai dari film Arrival, Villeneuve terlihat improvisasinya dalam menggunakan audio serta visualnya. Villeneuve merupakan salah satu sutradara favorit saya. Karya-karyanya selalu saya tunggu, bila memang terasa kurang maka akan saya katakan secara jujur.
Dengan berakhirnya tulisan ini, saya akan memberikan nilai 8.5/10 untuk film Blade Runner 2049. Tim produksi Blade Runner 2049 tentu saja sudah bekerja keras hingga filmnya masuk ke nominasi Oscar 2019. Jadi nilai 8.5 adalah angka yang sepadan.