Seri Tulis Kupas #2 Hymn of Death

Anandi Justika I.

--

Pertemuan, mata, jalan, serta takdir hidup.

Rasa ingin tahu, kepedulian, kasih sayang dan saling mencintai.

Kenyataan.

Ya, kenyataan lah yang terkadang membuat pertemuan terasa sia-sia, membuat mata tidak ingin memandang lagi, rasa ingin tahu yang berujung penyesalan hingga mempertanyakan mengapa takdir yang ku hadapi seperti ini?

Pada Seri Tulis Kupas kali ini, kita akan membahas drama korea yang berjudul Hymn of Death. Tayang pada tahun 2018 dan dibintangi oleh Lee Jong-suk serta Shin Hye-sun sebagai karakter utama dalam serial ini. Namun, saya tidak akan membahas tentang sejarah yang terjadi pada serial tersebut. Melainkan, nilai-nilai kehidupan yang sampai saat ini masih relevan dalam masa kini.

Biasanya, saat kita mengagumi seseorang. Tentunya akan berusaha mencari tahu hingga bertanya langsung. Namun, apa yang terjadi saat kamu telah menemukan jawabannya dan hanya menyakitimu saja? Tidakkah itu membuang-buang waktu? Tetapi, apakah aku salah untuk ingin tahu lebih jauh tentangmu? Inilah awal mula kisah dari Kim Woo-jin dan Yun Sim-deok. Rasa ingin tahu dan kepedulian lah yang membuat mereka semakin dekat — dengan kenyataan; realita — yang mungkin menyakitkan; ataupun menghancurkan harapan dari mereka masing-masing.

Hymn of Death memberi kita — sebagai penonton; banyak cerita-cerita kehidupan yang menyentuh hati. Seperti Kim Woo-jin yang selalu dalam bayang-bayang keinginan ayahnya yang berharap ia melanjutkan usaha dari ayahnya. Bila Woo-jin ingin, hidupnya pun terjamin — lagipula ia sudah memiliki pendamping. Namun, apakah Woo-jin benar-benar ingin mengikuti harapan ayahnya? Tidakkah ia merasa hiruk pikuk itu menyiksanya? Dengan hanya menulis dan bersurat kepada Sim-deok lah, ia dapat merasakan apa artinya bernapas.

Kalimat yang selalu Woo-jin lontarkan untuk Sim-deok selalu menyayat hati, terasa sekali jeritan hati yang ingin bebas dari cengkrama yang menyiksa. Ia merasa kembali hidup saat menulis. Yap, menulis. Saya mampu merasakan emosi dari karakter Woo-jin yang ditampilkan oleh Lee Jong-suk. Karena, saya merasakan bila lewat tulisan juga saya mampu menuangkan segala emosi saya; seakan saya kembali merasa bernapas dan normal kembali. Menulis membuat saya merasa tenang, meski hanya satu atau dua kalimat; satu atau dua paragraf — namun itu bermakna dalam bagi seseorang yang ingin merasakan sedikit kebebasan dalam hidupnya.

Yun Sim-deok. Seorang perempuan; wanita yang memiliki kepribadian baik. Ia memiliki rasa ingin tahu lebih untuk sesuatu — termasuk mengenai Woo-jin. Sim-deok memulai perjalanannya untuk mencari tahu seluk-beluk sosok Kim Woo-jin yang ia temui di sebuah ruangan; tempat Woo-jin menyadari suatu hal. Ia tenggelam dalam petualangannya mencari tahu hingga ia mengetahui hal yang menyakiti dirinya sendiri; Woo-jin telah memiliki pendamping. Sim-deok merasa canggung, ia tidak enak karena telah menaruh rasa pada seorang pria yang sudah memiliki pasangan. Sim-deok tidak mampu menghadapi itu dan ia memilih untuk kabur. Sama seperti saat kita mengetahui suatu hal yang ternyata hanya membuat kita tersiksa, apakah kita masih mampu menghadapinya? Sejauh mana kita dapat bertahan untuk menghadapi itu semua?

Saya perlahan memahami evolusi karakter Yun Sim-deok. Ia hanya ingin kebahagiaan. Sederhana bukan? Tetapi, kebahagiaan yang ia inginkan berada di Kim Woo-jin. Seseorang yang mungkin sulit untuk ia gapai. Seiring berjalannya waktu, Sim-deok menyadari bahwa ia tidak mampu hidup tanpa sosok Woo-jin. Ia merasa Woo-jin dan dirinya saling melengkapi satu sama lain. Tidakkah itu merupakan hal yang indah? Apakah Woo-jin juga merasakan hal yang sama dengan Sim-deok rasakan?

Rasa sayang; melengkapi.

Kebahagiaan; dirimu.

Dapatkah aku berpikir egois untuk hidup bersamamu?

Meskipun hanya sebentar?

Meskipun hanya dalam bayanganku saja?

Woo-jin yang selalu mengikuti apa keinginan ayahnya pun pada akhirnya mulai merasakan sesak dalam hidupnya. Ia merasa tidak bebas; tidak bisa bernapas dengan baik. Ia merasa membaik setiap bertemu Sim-deok. Bagaimana bisa? Sejak pertemuan pertamanya dengan Sim-deok di ruangan itu; Woo-jin menyadari bahwa ia sudah jauh tertarik kedalam hangatan Yun Sim-deok.

Hymn of Death memang sarat akan cerita sejarah nya yang menyayat hati. Namun, saya menyadari bahwa ada kisah dua orang manusia yang berjuang untuk mendapatkan kebebasan; Kim Woo-jin dan Yun Sim-deok sedang berusaha untuk dapat hidup bersama. Apakah mereka harus mengorbankan keluarga masing-masing untuk hidup bersama? Bila tetap bersama keluarga, apakah jiwa Woo-jin dan Sim-deok akan terasa hidup?

Keputusan yang Woo-jin dan Sim-deok ambil untuk membuka lembaran hidup baru — bersama pun membuat saya memahami bahwa; tatkala aku harus mengorbankan keluargaku agar aku bisa merasakan udara segar untuk bernapas. Keinginan mereka berdua hanyalah untuk bisa hidup dengan tenang — tanpa tekanan maupun paksaan. Mereka hanya ingin bernapas.

Saya cukup sering menangis menonton serial ini. Hymn of Death benar-benar masuk ke dalam hati saya. Ceritanya bukan hanya roman-picisan, tetapi didalamnya terdapat dua orang yang sedang berteriak untuk meminta kebebasan untuk jati diri mereka.

“Your unforgettable name. Deep in my heart, your name is engraved and I long for you. You set fire to my heart. In my heart, you ignited the inextinguishable flame of love. Before your name can be forgotten, I long for you again. Oh, even at the moment of death, I shall call out your name. Even as I am living, my heart longs for you. Until the moment of death, I will long for you. You set fire to my heart. In my heart, you ignited the inextinguishable flame of love, Sim-deok.”- Kim Woo-jin.

Saat tulisan itu ditampilkan pada layar dan dinarasikan oleh Woo-jin, saya merasa ini adalah curahan hati yang selama ini terpendam. Ia menjerit untuk diberi kesempatan hidup bersama seseorang yang ia sayangi. Woo-jin merasa Sim-deok benar-benar menjadi inti dari hidupnya. Ia meninggalkan segalanya untuk bersama Sim-deok, begitupula sebaliknya. Mereka mengorbankan sesuatu untuk bisa hidup bersama.

Namun, apakah setelah mengorbankan sesuatu untuk bisa hidup bersama pun mereka bisa bahagia? Tentu saja, senyuman terpancar dari wajah mereka berdua setelah memutuskan untuk pergi bersama. Menghabiskan waktu dibawah cahaya rembulan, menikmati tiupan angin dan suara air saat itu. Bagi Woo-jin dan Sim-deok, lebih baik mati daripada hidup tapi tersiksa dan tak mampu bernapas.

Sebuah pilihan yang menyakitkan. Tetapi juga saya tidak mampu menyalahkan mereka. Itu adalah pilihan hidup setiap orang untuk menjalaninya. Tentunya kisah ini cukup tragis, saat menyaksikan pun saya menitikkan air mata. Saya tidak mampu menahan air mata saat mereka memutuskan untuk pergi bersama. Banyak sekali lembaran tisu yang saya gunakan untuk menonton bagian terakhir dari serial ini.

Sebelum memutuskan untuk pergi bersama, Sim-deok memutuskan untuk merekam sebuah lagu. Lagu terakhir yang ia rekam.

This world which is made of tears,

Is it going to the end if I die?

The lives seeking for happiness

It is the emptiness that you are seeking?

Lirik yang menyayat hati. Menyakitkan. Saya kehabisan kata-kata untuk serial pendek Hymn of Death. Benar-benar menyakitkan hati, tulisan Woo-jin, curahan hati Sim-deok, tangisan dan jeritan mereka tentu saja menyakitkan. Banyak sekali tekanan yang mereka hadapi saat itu.

Lee Jong-suk sendiri berkata serial pendek ini secara cerita dan emosi kurang, di beberapa aspek saya menyadari itu. Tetapi, performa Lee Jong-suk bersama Shin Hye-sun di Hymn of Death sangat saya sukai. Saya seperti melihat Kim Woo-jin dan Yun Sim-deok.

Serial ini dapat kamu nikmati di masa waktu senggang; dalam suasana yang tenang; tidak ada hiruk pikuk. Hymn of Death memiliki tiga episode dan dapat disaksikan melalui Netflix. Pada serial ini juga anda dapat menyaksikan mini reunion dari jajaran pemain drama While You Were Sleeping.

Terima kasih telah membaca Seri Tulis Kupas kali ini. Silakan tinggalkan saran dan kritik untuk konten-konten yang saya sajikan melalui ajustika@aol.com. Selamat menyaksikan Hymn of Death.

“Are your truly living?

No, I am yearning for death in order to truly live.” — Kim Woo-jin, The Theory of Death and Life, May 4, 1926.

--

--

No responses yet