ULASAN FILM GUNDALA
“Rakyat itu tidak sebodoh yang anda kira.”- Gundala
Sebagai pembuka dari jagat sinema Bumi Langit, Gundala hadir dari tangan seorang sutradara kenamaan di Indonesia yaitu Joko Anwar yang kebanyakan orang mengetahui beliau lewat karya sinemanya Pengabdi Setan pada tahun 2017. Resmi tayang per- 29 Agustus 2019, Gundala ramai disaksikan oleh penonton dari berbagai generasi. Terutama generasi lama yang banyak memilih jam tayang film ini pada pukul 7 malam. Lantas, sebagai generasi muda yang awam akan Gundala ini, saya akan menilai secara subjektif lewat pengembangan cerita, karakter, sinematografi (dan semoga) koreografi.
Pengembangan cerita pada sinema Gundala cukup membuat saya sedikit kebingungan saat ingin mendeskripsikannya. Terlalu wasted time untuk mengenal sosok Sancaka saat kecil yang diharapkan memberikan emotional feeling kepada audiens malah bagi saya pribadi membuat kantuk saya muncul. Saya tidak menyalahkan performa Muzzakki sebagai Sancaka kecil, melainkan kemasan cerita yang hendak disampaikan kepada para penonton sehingga berdampak kepada cerita kedepannya.
Efek dari wasted time tadi mengakibatkan kita tidak dapat melihat performa seorang Gundala dengan cukup baik. Nampaknya Gundala kehilangan arah untuk pengembangan karakternya karena lebih pada pengembangan jagat sinema nya. Tidak serta-merta buruk, tetapi memang cukup mengganggu kelangsungan cerita serta pengembangan karakter Gundala itu sendiri.
Sebagai karakter ataupun pemeran pendukung, hadirnya Wulan cukup memberikan sedikit penambahan warna dalam berlangsungnya cerita. Namun, tidak mengisi kekosongan cerita sehingga terasa datar sekali. Begitupun hadirnya beberapa karakter lain termasuk yang diperankan oleh Cecep Arif Rahman, saya merasa koreografi pada beberapa laga yang dilakukan oleh Abimana bersama Cecep terasa pure dan tidak ada kesan rasa takut ataupun ragu. Berbeda dengan aksi laga Abimana bersama pemeran lain, terasa sedikit kaku dan ragu (mungkin hanya saya saja yang merasakan ini).
Sedikit terselamatkan dengan sinematografi yang indah pada beberapa bagian, terkecuali di sedikit adegan laga yang pergerakan kameranya membuat saya sebagai penonton merasa terganggu. Tetapi, apa yang bisa diragukan bila membahas soal tone pada film Gundala ini. Terasa sekali mencekamnya dengan di dukung scoring yang sederhana tapi megah saat disaksikan, tidak se-mencekam Pengabdi Setan ataupun Sebelum Iblis Menjemput (milik Timo Tjahjanto). Bagi saya, cukup membuat gemetaran selama menonton. Rasa gelap dan menghantuinya terasa sampai pada saya.
Saya menyaksikan Gundala di Cinema XXI dengan audio Dolby Surround 7.1, kebetulan di kota saya tinggal belum ada Dolby Atmos. Selipan berupa easter egg di film Gundala ini membuat saya berpendapat bahwa, Joko Anwar cerdas untuk menempatkan easter egg yang dilewatkan oleh sebagian orang. Selain itu, performa seorang Abimana Aryasatya sebagai Sancaka aka Gundala pun bisa dikatakan baik, hadir dengan bentuk tubuh yang tipikal superhero, hanya saja sayang sekali kurang porsi untuk mengenal Sancaka di masa dewasa.
Sebagai paragraf penutup, perlu saya sampaikan bahwa beberapa dialog di Gundala membuat saya merasa meh, hanya beberapa saja. Saya pun bukan seseorang yang mengenal Gundala dari komiknya, hanya penonton awam yang menilai secara subjektif. Memang bisa dikatakan, film ini hanya cukup untuk menjadi tontonan yang entertaining serta untuk menyaksikan performa Gundala yang telah keluar dari komiknya berupa audio visual. Angka 6.5/10 merupakan penilaian keseluruhan saya terhadap film Gundala yang hadir sebagai pembuka dari jagat sinema Bumi Langit yang selanjutnya akan ada film dari karakter-karakter lainnya.
Oh iya, jangan lupa saksikan Gundala di bioskop kota kamu! Dukung terus dunia perfilman serta sineas Indonesia, baik sineas maupun penonton akan merasa bangga bila saling mendukung satu sama lain, bukan?
© — 2019 Anandi Justika I.