ULASAN FILM X-MEN: DARK PHOENIX
“Why did you make me do that? She was my friend.”- Jean Grey
WASPADA: ULASAN INI BERPOTENSI SPOILER!
Sebenarnya ingin berbasa-basi terlebih dahulu tentang film satu ini. Tapi karena penayangannya yang cukup lambat di Indonesia membuat saya ingin langsung masuk ke penjelasan utamanya. For desclaimer, saya tidak mengikuti komiknya dan penilaian berikut ini berdasarkan apa yang terjadi pada X-Men: Dark Phoenix baik saat penayangan maupun produksi dalam perspektif saya.
Penayangan X-Men: Dark Phoenix (selanjutnya akan disebut Dark Phoenix) tidak tepat pada waktunya merupakan sebuah strategi yang cukup salah, namun saya memahami bahwasannya pasar perfilman Indonesia pada masa libur Idulfitri lebih mengutamakan film-film lokal (setelah saya perhatikan beberapa tahun belakang). Jadi, tidak heran bila Dark Phoenix mundur tujuh hari dari yang seharusnya. Selain itupun, film ini harus mendapat saingan yakni The Secret Life of Pets 2 yang dapat menjangkau berbagai usia.
Baiklah, mari kita masuk ke pembahasan utama saja. Dark Phoenix mengambil latar pada tahun 1992 yang dimana masuk pada pace pertama setelah melihat masa lampau Jean Grey pada 1975, Charles Xavier atau lebih familiar dengan Professor X nampak seperti tangan kanan presiden saat ada sesuatu terjadi diluar kemampuan pemerintah.
Kejadian tersebut membuat segenap tim X-Men mendapatkan misi ke luar angkasa untuk menyelamatkan orang-orang yang terluntah disana. Sayang sekali, peran Raven pada Dark Phoenix hanya menyuguhkan segenap speech dan command, seakan-akan kita tidak akan melihat Raven seperti di Days of the Future Past (2014). Di lain sisi, Phoenix seketika nempel ke Jean Grey pasca kejadian di angkasa.
Saya pribadi sangat menyayangkan sekali lagi akan character development dari X-Men kelas pertama seperti; Hank (Beast), Erik (Magneto), Raven (Mystique) serta Charles Xavier (Professor X) sendiri. Karakter mereka tidak memberikan kesan yang memorable pada penghujung film ini, meskipun para pemeran sudah totalitas dalam karakternya. Namun, itu semua terhalang karena buruknya script dari Dark Phoenix ini. Saya sendiri tidak paham sebenarnya apa motivasi utama sosok Simon Kinberg dalam proses Dark Phoenix dari pra hingga pasca produksi sehingga menghasilkan cerita yang cukup buruk diingat.
Sepanjang film, saya berusaha memahami bahwa film ini tetaplah make sense. Tetapi apa daya, karena direksi yang belum cukup baik ditambah lagi script dan character development yang kurang mengena dihati membuat saya kesal dan ingin memaki. Penghujung durasi film, saya lebih merasakan hampa melebihi apapun. Terasa seperti “hanya seperti itu?” “nothing special?” “lantas apa artinya DoFP sama Logan?” “siapa pula nama karakter Jessica Chastain?” “apa juga nama suku mereka itu?” “kenapa mirip Skrull?”.
Saya menemukan referensi yang mungkin digunakan Kinberg atau segenap tim produksi agar membuat kematian Raven akan terasa memilukan hati yakni seperti saat Logan tertusuk dibagian dada-menuju perut. Ya, Raven pun mati dengan cara demikian. Saat scene itu ditampilkan, saya teringat Logan dalam sekejap mata. Dan juga sedikit kejanggalan pada akhir cerita saat Erik dan Charles bermain catur bersama — nampak tubuh Charles lebih fit dan bugar dari yang seharusnya. Apa reshoot ini juga terjadi bersamaan atau setelah film Glass? Karena porsi tubuh James McAvoy mulai dari bahunya terlihat seperti The Beast pada Split.
Dark Phoenix sendiri sedikit terselamatkan dengan bumbu-bumbu soundtrack dari tangan Hans Zimmer yang biasanya menemani film-film dari salah satu sutradara kenamaan, Zimmer sendiri sudah dikenal lewat sentuhannya pada film Blade Runner 2049, Hidden Figures bahkan Sherlock Holmes: A Game of Shadows. Selain itu juga, sesuai berita yang beredar di khalayak umum. Dark Phoenix sempat melakukan reshoot pada satu bagian film yang membuat saya sadar akan kejanggalan ini.
Seperti Storm yang baru terlihat kekuatannya setelah terjadi reshoot yang pada permulaan film ia menjadi freelance Elsa untuk membuat es batu. I’m serious. Sayang sekali bukan, kalau karakter yang berpotensi namun character development nya seburuk itu? Scott yang seperti biasa tidak terlalu berguna. Quicksilver yang hanya hadir pada permulaan film saja kemudian menetap di X-Mansion.
Saya menyadari tiap film tentu ada kekurangan dan kelebihan yang tersimpan. Bagi saya beberapa kelebihan dan kekurangan itu sudah secara gambling saya jelaskan diatas, saya mengapresiasi sebuah scene yakni di kereta api yang dimana pada akhirnya X-Men berkumpul menjadi satu dan melihat Erik aka Magneto bisa kembali sangar seperti seharusnya.
Visualisasi sepanjang scene di kereta api dihadirkan dengan cukup apik. Cukup memanjakan sedikit untuk mata saya, lagi-lagi saya mengharapkan sosok Phoenix tidak hanya disebut secara random tetapi ditampilkan secara gamblang dan apik. Sebagai penghujung tulisan yang tiada akhir ini, saya akan memberi nilai 6/10 untuk X-Men: Dark Phoenix melalui berbagai pertimbangan dan melihat dari berbagai perspektif.
Sekian dan terima kasih telah membaca tulisan ini!
Have a good day!
PS: Let me cerita sesuatu, sejujurnya setelah nonton; saya dan kakak saya dibaluti dengan perasaan bingung akan siapa nama karakter yang diperankan oleh Jessica Chastain dan apa nama suku mereka? Setelah berselancar di internet, sampailah saya pada satu laman terpercaya yang menyebutkan bahwa karakter yang diperankan oleh Jessica Chastain adalah Vuk yang merupakan alien dari bangsa D’Bari. Bangsa ini sendiri memiliki kekuatan layaknya Skrull loh, bisa mengambil wujud manusia tersebut dan beberapa saat menjadi bulletproof. Kakak saya pun saat mengetahui karakter yang diperankan oleh Chastain namanya adalah Vuk, ia dengan segenap jiwa dalam ulasannya menyebut Vuk berulang kali untuk meluapkan rasanya yang terpendam. Ok, mungkin itu saja, hihi.
© — 2019 Anandi Justika I.